Belakangan ini, publik diramaikan oleh narasi yang menyudutkan relasi antara Ketua DPRD Sumatera Utara, Erni Ariyanti Sitorus (Legislatif), dan Gubernur Sumut, Bobby Nasution (Eksekutif). Relasi yang digambarkan ‘terlalu dekat’ itu disebut-sebut telah melunturkan fungsi pengawasan legislatif terhadap eksekutif. Tuduhan ini tentu tidak boleh dibiarkan menjadi opini liar yang berpotensi merusak kepercayaan publik terhadap institusi demokrasi daerah.

Ketua BEM Fakultas Hukum USU, Afif Hauzaan Abid, menyampaikan pandangan kritisnya, “Demokrasi bukan berarti debat kusir, melainkan soal akuntabilitas, transparansi, dan fungsionalitas. Dalam sistem demokrasi yang matang, hubungan kelembagaan konstruktif sesuai fungsinya antara legislatif dan eksekutif justru menjadi syarat lahirnya kebijakan publik yang efektif dan berpihak kepada rakyat.”

Dengan kata lain, hubungan Institusional baik antar pimpinan lembaga tidak serta-merta berarti kompromi, apalagi pelemahan fungsi kontrol. Berikut sejumlah indikator konkret yang membantah asumsi tersebut:

1. Fungsi Pengawasan Melalui Pemanggilan dan Rapat Kerja Tetap Berjalan Aktif

Sejak menjabat, Ketua DPRD Erni Ariyanti memimpin berbagai rapat kerja dengan mitra eksekutif, termasuk memanggil dinas-dinas strategis untuk mempertanyakan penggunaan anggaran, realisasi program, dan tindak lanjut atas temuan BPK. Misalnya, pemanggilan Dinas Pendidikan dan Bappeda dalam menyoroti kebijakan Sekolah Gratis yang dicanangkan Gubernur sebelumnya namun dibebankan pada APBD 2024. Ini menunjukkan fungsi pengawasan tetap berjalan secara substantif.

2. Kritik Fraksi terhadap Kebijakan Strategis Pemprov

DPRD Sumut juga tidak tinggal diam terhadap sejumlah kebijakan eksekutif. Polemik penganggaran revitalisasi Lapangan Merdeka Medan menjadi contoh konkret. Beberapa fraksi, seperti PDIP dan Demokrat, menyampaikan kritik terbuka karena dinilai lebih menguntungkan Kota Medan ketimbang seluruh wilayah Sumut. Ketua DPRD memfasilitasi kritik tersebut dalam forum resmi. Artinya, fungsi legislasi dan kontrol tetap bekerja.

3. Kunjungan Kerja Lapangan: Dari Seremonial ke Substansi

DPRD Sumut secara rutin melakukan kunjungan kerja ke berbagai daerah, tidak hanya sebagai agenda formalitas, tetapi untuk mengidentifikasi langsung permasalahan masyarakat. Temuan mengenai buruknya distribusi pupuk subsidi dan penyaluran bansos yang tidak tepat sasaran, misalnya, menjadi bahan evaluasi dan disampaikan langsung kepada Pemprov melalui rapat resmi. Ini adalah bentuk kontrol kebijakan berbasis realitas lapangan.

Objektivitas Narasi Politik: Jangan Reduksi Sistem Jadi Personalitas

Relasi kelembagaan dalam demokrasi tidak boleh direduksi semata pada hubungan antarpersonal. Membaca dinamika politik hanya berdasarkan “kedekatan” antar pimpinan lembaga adalah penyederhanaan berbahaya. Ini mengabaikan mekanisme kerja sistemis DPRD yang bersifat kolektif, deliberatif, dan melibatkan banyak fraksi serta alat kelengkapan dewan.

Afif Hauzaan Abid menegaskan, “Hubungan fungsional antara DPRD dan Gubernur tidak boleh serta-merta diartikan sebagai kooptasi. Justru pengawasan yang efektif kerap lahir dari komunikasi dan koordinasi kelembagaan yang sehat — bukan dari konflik terbuka yang tak produktif.” Menurutnya, publik perlu lebih cermat membaca dinamika politik daerah dan tidak larut dalam narasi spekulatif yang tidak didukung data.

Demokrasi Butuh Akuntabilitas, Bukan Kecurigaan Membabi Buta

Demokrasi bekerja bukan karena kerasnya suara oposisi, melainkan karena berjalannya mekanisme checks and balances secara sistemik. DPRD Sumut tetap menjalankan fungsi pengawasannya secara prosedural dan substansial. Maka, tudingan melemahnya fungsi pengawasan hanya karena relasi personal yang hangat adalah narasi bias yang tidak berdasar.

Yang dibutuhkan adalah penguatan fungsi kelembagaan dan akuntabilitas berbasis kinerja, bukan penghakiman opini yang menjebak publik dalam persepsi keliru.

Demikian

Penulis : Afif Hauzaan Abid, Mahasiswa FAK.Hukum USU Dan Gubernur BEM FH USU